Cerpen karangan
: Anita Juni Yanti
Sekelompok anak kecil menari-nari riang menikmati hujan di senja
ini. Mereka tertawa lepas dan tampak bahagia, bermain bersama air hujan yang
dingin. Mereka berlarian, kejar-kejaran dan bermain perahu kertas di aliran
selokan. Ku tatapi kebahagian demi kebahagian yang dirasakan anak kecil
tersebut. Senyum yang merekah dari kedua bibirnya, dihiasi lesung pipi,
menambah cantik wajah yang tersenyum. Bagaikan taman bunga yang akan mekar
menyambut datangnya hujan.
Namun, tampaknya ada yang
salah dengan hujan ini. Tiba-tiba hati ku kacau dan terasa sakit.
Tess...tess..tess...
“Ku rasakan ada air hujan yang turun dari sumber yang lain. Aku tak
mengerti dengan ini. Hey...anak kecil itu tampak bahagia dengan air hujan,
namun ada apa dengan hujan ini ?”. Jerit batin ku.
Tentu saja aku merasakan ada hal yang berbeda, ternyata air hujan
itu bukan jatuh dari atas langit. Namun jatuh dari kedua pipiku.
Hujan terkadang memberikan keberkahan dan anugerah terindah bagi
orang yang menikmatinya. Akan tetapi, hujan terasa sangat menyakitkan, jika itu
adalah hujan masalah. Hujan yang dirasakan anak kecil itu berbeda dengan hujan
yang sedang ku rasakan. Mereka menikmati kesejukan air dari awan, dan aku
menikmati air dari permasalahan.
Aku hanyalah seorang gadis yang senang berdiri di depan pintu,
meratapi tetes air hujan yang jatuh ke bumi, karena hujan bagiku, menyisakan
rasa sakit yang teramat dalam. Hujan tiga tahun yang lalu, merenggut kebahagian
yang pernah terukir indah. Hujan membawa ia bersama wanita lain.
“Oh Tuhan... kenapa hujan di pipi ku kian deras”. Bisik hati ku.
~
“Kak, aku lapar”. Seru adik ku Rangga yang membuyarkan lamunan ku
bersama gemericik hujan. Ia tampak pucat pasi.
Sejenak, ku perhatikan penampilan Rangga, ia kurus, wajahnya pucat,
dan terlihat sangat lemah. “Tuhan...berikan balasan untuk orang yang sudah
menelantarkan si kecil”. Seru batin ku.
“Kak”. Seru adikku kembali.
Dengan menghela nafas, ku hapus air hujan yang membasahi pipi ku,
dan melemparkan senyum terindah yang ku miliki untuk adik tercinta. “ia
sebentar ya dek, kaka masak dulu”. Jawabku singkat.
Sambil menahan rasa sakit
ini, ku coba berusaha tegar demi adik dan ibu ku. Kaki ini terasa sangat berat
untuk di langkahkan. Namun, jika bukan aku yang mengurus mereka, siapa lagi?.
Tuhan kau tak hanya mengirimkan air hujan ini menembus atap rumah ku yang
semakin rusak, dan kau mengirimkan air hujan di sudut pipi ku. Tuhan luka ini
terlalu sempurna.
Usai masak dan mempersiapkan makanan untuk ibu dan adik bungsu ku.
Aku terpaku melihat ibu mengusap photo yang mulai usang itu. Sorot mata ku
memancarkan api kebenciaan melihat photo yang di bersihkan ibu. Luka ini masih
terlalu sempurna, bahkan aku tak mau mengingat semua kenangan lalu.
Dengan cepat aku ambil photo itu dari ibu, dan melemparkannya
dengan keras ke atas lantai hingga pecah berkeping-keping. Kepingan itu
bagaikan serpihan hati yang ia potong dengan pisau yang tajam.
Mata ibu berkaca-kaca melihat ku memecahkan photo itu. Perlahan ibu
mengambil kepingan kaca yang berserakan.
“Awww....”. Seru ibu merintih kesakitan. Tangannya tergores pecahan
kaca yang ia kumpulkan. Aku heran sama ibu, masih saja ia mau menyimpan
kenangan pahit yang seharus ia hapus bersamaan kepergian laki-laki itu.
Kepingan kaca itu hanya melukai tangannya, dan lelaki itu melukai hatinya. Aku
yakin hati ibu pecah bagaikan kepingan kaca itu. Kala lelaki itu pergi di
tengah hujan deras bersamaan wanita lain.
Aku seolah acuh melihat ibu terus merapihkan kepingan kaca itu,
sehingga tiba-tiba saja aku mengeluarkan kata yang seharusnya aku jaga.
“Percuma bu, meskipun ibu ambil kepingan demi kepengin itu, tak
akan menjadikan bingkai yang indah lagi, dan selamanya akan menjadi kepingan
yang pecah”. Teriakku kepada ibu.
“ada kalanya kita perlu terima bahwa ada orang yang diciptakan
untuk menyakiti perasaan kita”. Jawab ibu dengan lembut.
“terus kita harus terus mengingatnya, hingga menjadikan kita orang
gila, begitu maksud ibu?”. Air hujan ini semakin deras ku rasakan di kedua pipi
ku.
Ibu berusaha berdiri dan duduk di kursi. Ia rebahkan badannya yang
sudah sangat lemah. Aku tahu, pasti luka di hati ibu, jauh lebih sempurna
daripada apa yang ku rasakan.
Tiba-tiba saja aku mematung di hadapan ibu, melihat sorot matanya,
menunggu responnya atas pernyataan yang telah ku lontarkan. Andai ibu mengakui bahwa
orang itu tak pantas hadir dalam kenangan kita, dan melupakannya, aku tak akan
pernah membentak ibu.
“Nak”. Seru ibu dengan nada yang parau.
“Bukankah Allah menguji ketegaran dalam kesakitan?”. Seru ibu
kembali.
Sejenak aku terpaku mendengar respon yang ibu sampaikan.
“Allah tidak akan menciptakan suatu peristiwa tanpa ada kolerasinya
dengan masa depan, sengaja Allah memilih ia yang menyakiti kita, dan Allah
memilih kita yang disakitinya. Itu semua adalah desain yang sangat indah”. Seru
ibu kembali.
“jadi, menurut ibu, penderitaan, pengkhiatan itu adalah anugerah,
begitu maksud ibu ?”. Tegasku membantah pernyataan ibu.
Ibu hanya terdiam dan menahan air matanya.
“Sebuah anugerah dari Tuhan, dimana Tuhan mengirim Iblis dalam kehidupan
kita”. Seru ku dengan nada yang tinggi.
“jaga mulut mu !!!”. Sorot mata ibu mengarah kepada ku.
“kalau tak ada ia, kau tak akan pernah ada dalam hidup ini”. Seru
ibu kembali.
“bahkan kalau aku boleh memilih, aku tak ingin ada di dunia ini”.
Jawab ku.
Sejenak aku dan ibu terdiam. Selang beberapa detik kemudian, ibu
tersenyum membelai kepala ku lembut.
“andai semua ini tak pernah terjadi, apakah kamu akan menjadi orang
yang dewasa?”. Seru ibu kembali
“aku ngga ngerti maksud ibu”. Sambil menatap kedua matanya.
Ibu kembali duduk di kursi. Menghela nafas panjang dan hembusan
kepasrahan.
“seharusnya, kamu coba baca simbol dari Tuhan”. Suara ibu keluar
dengan menahan getir di hatinya sendiri.
“nak, dengarkan ibu”.
“semenjak, seseorang yang kita cinta meninggalkan dan menelantarkan
kita. Kita berusaha dewasa dalam setiap permasalahan. Air hujan yang jatuh dari
kedua pipi kita saat sujud kepada Tuhan, itulah yang Tuhan harapkan dari kita.
Air hujan yang mengalir dari kedua pipi kita, semakin mendekatkan kita kepada
Sang Maha Cinta. Jika kita kecewa, itu adalah hal yang manusiawi, karena rasa
kecewa dan sakit pun Tuhan yang menciptakan. Namun berlarut dalam kebencian,
itulah yang syaithan harapkan”. Seru ibu.
Aku yang mendengarkan semua nasehat ibu, hanya terpaku, diam
membisu. Ibu berdiri dari kursinya dan menggandeng tangan ku.
“Lihatlah hujannya sudah berhenti”. Seru ibu dengan senyuman
terindahnya.
“lihatlah ke atas awan itu nak”. Seru ibu kembali
“Pelangi”. Jawabku lirih
“ bagaikan pelangi setelah hujan, itulah janji dari Tuhan”. Seru
ibu berkaca-kaca
~
Bersama senja ku
nikmati panorama indah yang sudah Allah
ciptakan. Perseteruan ku dengan ibu, membuatku berpikir satu hal. Tanpa hujan
tidak akan ada pelangi. Semenjak sosok yang aku banggakan dan sandaran hidup
pergi meninggalkan kami untuk seorang wanita yang tak jelas status sosialnya.
Aku terpuruk dengan kisah baru tanpa sang ayah. Ketegaran yang ibu meliki
tidaklah sebanding dengan luka yang aku rasakan. Masalah yang aku hadapi
bagaikan hujan yang Tuhan turunkan, namun Tuhan memberikan pelangi indah
bersama ku.
Yah...Ibu adalah pelangi. Kilauan cahayanya membuatku menjadi
pribadi yang tegar. Hujan dan pelangi itu adalah kolerasi. Tanpa hujan tidak
akan ada pelangi.
Tuhan...biarkanlah pelangi itu tetap memberikan warna indah dalam
hidupku, meskipun kami kini hanya bertiga, dalam sebuah gubug derita dan
nestapa. Rumah yang tak layak di tempat ini tetap bagaikan istana di surga_Nya.
Karena di sini ada pelangi terindah.
Aku semakin mengerti apa mau mu Tuhan. Tanpa hujan tak akan ada
pelangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar